Cermis | Hantu Laptop
Rumah besar bergaya arsitek Belanda itu terlihat sepi. Dua gadis remaja berjalan beriringan memasuki halaman. Seorang memakai celana jins biru gelap dipadu padan jaket abu-abu, seorang lagi memakai rok motif bunga-bunga sebatas lutut dengan kemeja lengan pendek berwarna putih.
"Tante Rosa sudah berangkat ke Jakarta sejak sore tadi, Al," Risma, yang bercelana jins menggamit lengan Alya.
"Jadi kita cuma berdua di rumah ini?" Alya bertanya gamang. Suasana lengang membuat langkahnya agak menyurut.
"Ada Pak Ibun dan Bi Salmah. Mereka dipercaya Tante Rosa untuk merawat dan menjaga rumah ini," Risma menyahut sembari memencet bel di depan pintu. Seorang perempuan---sudah berumur berjalan tergopoh.
"Non Risma? Nyonya sudah berpesan tadi. Non sebaiknya tidur di ruang atas saja."
***
Udara dingin menyelinap masuk ke dalam kamar melalui jendela yang dibiarkan terbuka. Tirainya sesekali bergerak-gerak tertiup angin. Pak Ibun sudah berkeliling memeriksa pintu-pintu juga mematikan sebagian lampu.
Risma masih terjaga. Ia berselonjor kaki di atas ranjang sembari memangku laptop, menatap layarnya tak berkedip. Sementara Alya merebah di sampingnya dengan mata setengah terpejam.
"Masih cerita horor lagi, Ris?" Alya menggerakkan kepala sedikit. Risma mengangguk.
"Kenapa sih tidak menulis kisah yang lain? Ntar aku lagi yang harus membaca," Alya memberengut. Risma tertawa. Ia tahu sahabatnya itu sangat penakut. Tapi anehnya, Alya tidak pernah menolak setiap kali diminta untuk menjadi first reader. Meski setiap usai membaca, wajah Alya selalu berkeringat karena menahan tegang.
"Kau tidurlah dulu, Al. Aku baru saja mulai menulis," Risma kembali menatap laptop di pangkuannya. Alya mengangguk. Sebentar kemudian dengkurnya yang halus mulai terdengar .
Risma melanjutkan pekerjaannya. Jarinya melompat-lompat mengetik huruf demi huruf.
Pagi yang mendung. Martin berdiri di dekat jendela. Tangannya menggengam gulungan kertas berwarna putih."Pukul berapa tamu akan datang?" ia berpaling, menatap Paman John yang duduk bersandar di punggung sofa.
"Sebentar lagi. Aku harap kau sudah siap menandatangani berkas-berkas yang ada di tanganmu itu," Paman John menyahut seraya mengembuskan asap rokok perlahan.
"Paman,aku tidak akan menjual rumah warisan ini. Almarhum Papa dan Mama berpesan..." Martin tidak melanjutkan kalimatnya. Ia kembali memalingkan wajah, menatap jalanan yang lengang.
Risma menguap. Matanya melirik ke arah jarum jam. Sudah pukul sebelas lewat dua puluh menit. Ia menepikan laptopnya sejenak, menggerak-gerakkan ujung jemari kakinya yang kesemutan.
Angin kembali menyusup. Menguarkan udara dingin. Risma melompat turun dari tempat tidur. Kakinya berjalan sempoyongan menuju arah jendela. Sebelum menarik daunnya, ia melempar pandang beberapa detik ke halaman. Gelap dan sunyi.
Usai mengunci jendela rapat-rapat, Risma kembali ke tempat tidur, memangku laptopnya. Sudut matanya melirik Alya sebentar. Sahabatnya itu masih tertidur pulas.
Jarinya kembali ke atas keyboard, menari-nari lincah.
Dua tamu yang ditunggu akhirnya datang.Sepasang suami istri, masih muda. Paman John memberitahu mereka adalah calon pembeli yang berminat untuk membeli rumah peninggalan itu. Tapi Martin tetap pada keputusannya. Iatidak akan melepaskan rumah warisan sesuai dengan wasiat kedua orangtuanya.
"Maaf, sekali lagi saya sampaikan, saya tidak akan pernah menjual rumah ini," Martin berkata tegas. Kedua tamuyang sedang berdiri melihat-lihat ruangan saling berpandangan.
"Martin!" Paman John berseru lantang. Rahangnya yang kokoh bergemelutuk menahan amarah.
"Ini rumahku, Paman. Aku berhak untuk mempertahankannya," Martin menatap Pamannya dengan berani.
"Jaga mulutmu, Martin! Jangan menentangku. Kau---hh, pasti akan menyesal."
"Paman jangan mengancamku."
"Kau...."
Beberapa detik lamanya Paman dan keponakan itu saling beradu mata.
Risma meletakkan mouse di tangannya sejenak. Tenggorokannya terasa kering. Ia turun dari tempat tidur, berjalan tergesa menuju lantai bawah.
Baru saja hendak menumpahkan air ke dalam gelas, tiba-tiba telinganya menangkap bunyi mencurigakan. Semacam derit pintu.
Krieeet....
Risma menajamkan pendengarannya.
Derit itu terdengar lagi. Kini semakin jelas.
Kriieeet....
"Pak Ibun, Bi Salmah?" Risma menengok kanan kiri.
Tak ada siapa pun.
"Pak Ibun, Bi Salmah?" Risma mengulang. Matanya menyapu sekeliling dan berhenti pada handel pintu ruang tengah yang bergerak-gerak sendiri.
"Non..." suara berat dan serak membuatnya terkejut.
Bi Salmah!
Risma menarik napas lega.
***
Risma kembali ke kamarnya. Setengah mengantuk ia menyentuh laptop yang masih menyala. Tapi mata redup itu kemudian terbelalak kembali.
Ada sesuatu yang janggal.
Pada layar laptop di bawah tulisannya yang belum rampung, terlihat huruf kapital yang tersusun acak.
"AAEEHHGTTO...MARSI"
Risma terdiam, melirik Alya sebentar. Sahabatnya itu masih tidur mendengkur. Lalu matanya beralih kembali ke arah laptop yang urung dimatikan.
Tulisan apa ini? Ia mendekatkan wajahnya.
"AAEEHHGTTO...MARSI"
Risma mengamati sekali lagi deretan huruf bercetak miring itu. Benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan. Siapa yang menulisnya? Jelas bukan Alya. Ia mulai curiga. Apa mungkin ada mahluk lain di dalam kamar ini selain dirinya dan Alya?
Sebuah bayangan mendadak berkelebat---
Bersambung...
0 comments:
Post a Comment